Egosentrik jurnalisme dalam ceruk media dan informasi
Media dan informasi memang sudah digunakan sebagai alat kendali dan propaganda sejak zaman Yunani, Romawi atau Mesir kuno, tujuannya hanya satu: “mempertahankan kekuasaan”.
Itulah kenapa media dan informasi selalu berusaha dikuasai oleh siapapun karena dapat membentengi kepentingan mereka dari ancaman internal dan eksternal.
INFO
Egosentris Jurnalisme adalah frasa non-common yang tidak akan ditemukan di Workshop, kelas, atau kurikulum Jurnalistik manapun, karena memang istilah yang lahir dari pengalaman nyata penulis
Peran media dan informasi
Era perang dunia modern
Di era modern, terutama tepatnya di Perang Dunia II, penggunaan media sebagai alat propaganda semakin masif dan menyentuh ranah hiburan untuk anak-anak. Kita tidak salah baca, hiburan untuk anak-anak; film kartun yang dijadikan alat propaganda oleh militer AS untuk menampilkan para pemimpin poros Axis (Jerman, Jepang, Italia) sebagai penjahat yang paling kejam dan biadab.
Film-film Walt Disney seperti Der Fuehrer’s Face adalah contohnya, dengan karakter populer Donald Duck didalamnya yang secara heroik melawan kekuatan Reich Ketiga dan para pemimpinnya.
Baik Walt Disney atau Pemerintah AS punya ego masing-masing, ego Walt Disney menyelamatkan studio mereka yang hampir bangkrut, sedangkan ego Pemerintah AS yaitu melabeli poros Axis sebagai penjahat kemanusiaan.

Paska PD II
Setelah PD II selesai, dan ketika memasuki perang dingin, penggunaan media sebagai alat propaganda tetap efektif untuk mengontrol narasi dan informasi. Seperti eskalasi AS vs Cuba pada Invasi Teluk Babi (April 1961) yang secara langsung mengancam kepentingan Uni Soviet di benua Latin Amerika itu adalah contoh dari bagaimana propaganda melalui media dan informasi dilakukan untuk mengancam kepentingan kekuatan lain di suatu wilayah.
Tidak hanya pihak Barat, Uni Soviet pun melakukan hal yang sama, mereka melakukan propaganda melalui koran, film, radio dan TV yang mendoktrin rakyat mereka untuk selalu patuh pada negara dan memberi cap bahwa musuh-musuh mereka adalah musuh bersama.
Pada era tersebut, koran, film dan radio memang efektif sebagai alat negara terutama yang kepemilikannya secara resmi milik negara.
Paska Perang Dingin dan Era AI
Koran dan TV adalah alat propaganda efektif
Setelah Perang Dingin berakhir, kini alat propaganda tersebut fokus ke koran, radio dan acara TV. Film meskipun masih populer tapi tidak lagi kuat sebagai alat propaganda terutama dengan adanya Hollywood, karena adanya ekosistem hiburan ini menjadikan film sebagai alat resmi dan satu-satunya yang sah digunakan oleh Amerika Serikat (contohnya franchise Rambo)
Internet mengubah semua pola ini, semua pusat gravitasi kekuasaan mengalihkan fokus mereka ke internet, alurnya tetap sama: media dan informasi. Hanya bedanya, kini mereka menggerakan buzzer, seperti fenomena buzzer pada Pilkada Jakarta 2012, yaitu Jasmev (Jokowi Ahok Social Media Volunteer) yang mengklaim diri mereka bersih, tanpa lobi-lobi pro calon tertentu. Tapi seperti yang kita tahu, kekuatan polarisasi dan manipulasi informasi melalui media-media kawan mereka adalah sesuatu yang lumrah.
INFO
Lebih jauh kebelakang, kita bisa lihat bagaimana Orde Baru mengontrol media supaya informasi yang disajikan ke publik sangat terkurasi dan menghilangkan friksi, potensi masalah & gangguan nasional. Sementara berita luar negeri tetap ditampilkan apa adanya.
Kita bisa saksikan bagaimana pada 2012 dan 2014, berbagai berita TV menyajikan jagoan partai pemilik televisi ini. TvOne yang dimiliki Aburizal Bakrie bersama Golkar mendukung Prabowo-Hatta, sedangkan jaringan Media Group termasuk Media Indonesia dan MetroTV yang dimiliki Surya Paloh sekaligus sebagai pimpinan & pendiri partai Nasdem, sangat aktif mendukung, membela dan mempromosikan Jokowi-Kalla.
AI mengubah peta medan perang digital
Di era AI dan masifnya sosial media, algoritma mempermudah media memproduksi berita dan konten terutama untuk mengejar viralitas. Informasi adalah produk non-fisik yang bernilai tinggi dari zaman dahulu, tidak jarang pertumpahan darah dan peperangan terjadi karena informasi baik yang valid atau hoaks.
Media-media itu kini tidak perlu menghabiskan waktu berhari-hari di ruang redaksi hanya untuk menyampaikan satu berita, cukup pantau sosial media, pantau trend yang sedang viral, ambil kemudian bungkus dengan narasi “beredar video tuduhan…” atau “terungkap video anggota dewan…. dengan seorang wanita…”.
Selain itu, AI juga mempermudah sulih suara untuk konten video atau berita artikel yang dibuat video. Dengan menggunakan AI, perusahaan tidak perlu menyewa atau mempekerjakan narator, cukup langganan AI sekitar $15 - $20 perbulan tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan seperti tunjangan, uang makan atau uang transport.
Implikasi dari penggunaan teknologi yang terlalu “canggih” ini kini menghilangkan esensi sebuah berita, sekarang berita dianggap cuma berharga dalam satu menit pertama, selanjutnya cuma tumpukan artikel yang kurang bernilai. Itu karena sudah tidak ada lagi kerumitan dalam menerbitkan berita.
Jadilah apatis bukan anti informasi
Kecepatan informasi kini bukan lagi soal mana valid mana hoaks, semua tentang klik, trend dan viralitas. Contohnya berita “Bukan DJ Panda? Muncul Nama DJ Ohim di Skandal Kehamilan Erika Carlina, Ini Sosoknya” yang tidak bernilai apapun, hanya mengejar viralitas sesaat. Ohim sendiri hanyalah orang yang wajahnya selalu jadi “korban” grup timpa teks di Facebook dan tidak ada hubungan apapun dengan sosok yang disebutkan pada headline itu.
Suka atau tidak, inilah standar media di Indonesia saat ini. Apa yang ditawarkan media hari ini 90% hanya repost atau muat ulang dengan tambahan narasi, deskripsi atau sulih suara untuk memperjelas atau membingungkan informasi yang sedang disajikan. 10% hanya relay dari narasi resmi negara atau parafrase berita luar negeri, dengan dalih mengutip tapi 50% isinya mirip.
Kita tidak boleh anti informasi, karena bagaimanapun informasi adalah senjata, ketika senjata jatuh ke tangan yang salah maka akibatnya adalah kehancuran. Kita lihat bagaimana CIA dan AS menghancurkan lawan-lawan mereka melalui kontrol media, agen ganda dan transaksi informasi yang nilai tukarnya dapat berupa uang, emas, minyak, kekuasaan bahkan hingga nyawa rakyat suatu negara.
Endgame
Yang perlu kita lakukan adalah peka terhadap informasi, selalu menyaring informasi, pelajari siapa pembuatnya, tujuannya apa dan bagaimana bisa menyebar. Jangan FOMO dan jadi relay atau penerus pesan tanpa tahu maksud dan tujuan informasi tersebut.
Ilmu seperti ini tidak akan didapatkan di kurikulum pendidikan manapun, tetapi bisa didapatkan di rumah, tempat ibadah, lapangan volly, atau taman bermain. Karena intuisi akan semakin tajam jika rajin dilatih.
Topik dalam Artikel Ini
Bagian dari Series: Narasi Abu-Abu
Artikel ini adalah bagian dari series pembelajaran yang komprehensif.
Memuat kontributor…
Dan para kontributor lainnya yang mendukung MauCariApa.com.
seedbacklinkMarketplace backlink terbesar dan terpercaya di Indonesia
Marketplace backlink terbesar dan terpercaya di Indonesia
Diskusi & Komentar
Panduan Komentar
- • Gunakan bahasa yang sopan dan konstruktif
- • Hindari spam, promosi, atau link yang tidak relevan
- • Komentar akan terus dipantau secara berkala
Lanjut Membaca
Malasnya media besar di Indonesia dalam membuat link referensi
Perbedaan yang sangat mencolok antara media nasional dan internasional, dalam hal penyajian sumber/rujukan informasi
Mengenal egosentrik SERP
Kita mengenal SERP sebagai medan pertempuran untuk berebut posisi pertama tanpa tahu kenapa kita harus disana