Hero image for Narasi abu-abu dan hipokrasi digital
Opini Series: Narasi Abu-Abu

Narasi abu-abu dan hipokrasi digital

Dipublikasikan : 11 Juli 2025
Oleh:

Di era digital sekarang, sosial media dan algoritmanya lebih nerima konten seksual dan pornografi meskipun melibatkan anak di bawah umur, tapi pas bahas sejarah atau kasus sensitif—kayak genosida di Gaza atau Holocaust (Shoah)—platform langsung reaktif dengan melabeli antisemit, berbahaya, atau melanggar kebijakan platform.

Pertanyaan yang ingin dibungkam

Padahal di sini kita niatnya mau belajar bareng:
Kenapa terjadi Shoah di Eropa? Apa aja yang melatarbelakanginya?
Dan kenapa negara-negara barat hanya diam ketika jutaan orang Yahudi dikirim ke kamp konsentrasi?

Pertanyaan-pertanyaan kayak gini tuh penting banget.
Tapi malah nggak boleh dibahas. Padahal dari situ kita bisa lihat gimana sejarah dibentuk, siapa yang diuntungkan, dan kenapa banyak hal kayak Nuremberg Trial cuma nyentuh permukaan aja—nggak semua pelaku diseret.

Contohnya aja, Hugo Boss, yang bikin seragam Nazi, aman-aman aja. Contoh lainnya, Zyklon B, racun yang dipakai buat kamar gas di Auschwitz dan kamp lainnya. Tapi jarang dibahas siapa yang produksi. Jawabannya? IG Farben, sebuah konglomerat kimia raksasa Jerman.

Mereka bukan cuma tahu racun itu dipakai buat bunuh manusia — mereka juga punya saham di perusahaan yang produksi itu: Degesch. Dan mereka tetap produksi. Bahkan IG Farben punya pabrik sendiri deket kamp Auschwitz, namanya IG Auschwitz. Mereka bangun fasilitas industri raksasa dan pake tenaga kerja paksa langsung dari kamp konsentrasi. Banyak tahanan yang mati bukan di kamar gas, tapi di pabrik — pelan-pelan, lewat kerja paksa yang gak manusiawi.0b87b990eba4d507Tapi berapa banyak dari kita yang tahu soal itu?
Berapa banyak dari platform yang kasih ruang buat diskusi kayak gitu?
Gak banyak. Kenapa?

Karena sejarah semacam ini dianggap terlalu “sensitif”. Padahal dari kasus ini, kita bisa lihat jelas gimana korporasi dan kekuasaan bisa saling peluk demi keuntungan, bahkan di atas kematian jutaan manusia. Dan lebih parahnya lagi — setelah perang, sebagian dari para bos IG Farben gak dipenjara lama, banyak yang malah balik kerja lagi di perusahaan-perusahaan yang sekarang kita kenal: Bayer, BASF, Hoechst.

Zyklon B gak muncul dari ruang kosong. Ada pabrik. Ada manajemen. Ada rapat. Ada tanda tangan kontrak. Dan semuanya jalan dengan rapi, terstruktur, dan legal.

Belum lagi soal Marshall Plan dan cerita-cerita pasca-perang lainnya. Tapi ya itu tadi — kalau kamu nulis soal ini, kamu bisa dianggap menyebarkan kebencian. Kalau kamu terlalu kritis, kamu bisa disensor.

Dan anehnya, semua ini dianggap wajar.
Kita hidup di zaman di mana screenshot tubuh orang bisa viral, tapi screenshot sejarah malah dihapus.

Penulisan ini bertujuan edukatif dan reflektif, bukan untuk membenarkan, menyebarkan kebencian, atau menolak fakta-fakta sejarah yang telah diakui secara internasional.

Algoritma diem aja waktu ada seleb upload foto sensual di TikTok, meskipun caption-nya ditulis anak umur 14. Tapi begitu ada yang upload peta Palestina tahun 1947, langsung dibatasi jangkauannya. Dibilang “mempromosikan kekerasan.” Kekerasan yang mana? Bukankah itu fakta sejarah?

Sementara konten-konten “tidak sopan”—yang jelas-jelas nyari engagement murahan—malah dimonetisasi. Bahkan ada yang dapet centang biru. Jadi siapa yang sebenernya disensor, dan siapa yang dikasih panggung?

948d1e0e82a51966

Mereka hanya mengikuti standar komunitasnya sendiri

Standar yang mana? Komunitas yang mana?

Karena kalau kita coba ngomongin sejarah yang nggak nyaman buat barat, kita langsung dilabeli:

  • “Antisemit”
  • “Ekstremis”
  • “Teori konspirasi”

Tapi kalau kita diam, sejarah makin dikunci.
Dan kalau sejarah dikunci, kita cuma diajarin buat percaya, bukan buat paham.

Coba pikir:

Kenapa kita tahu detail soal Holocaust tapi nggak diajarin soal pembantaian di Kongo oleh Belgia?
Atau genosida di Indonesia Timur, Papua, Timor Leste, Vietnam, Korea, Irak, Libya?
Berapa banyak yang kita tahu soal itu…
dibanding berapa banyak konten TikTok yang udah kita tonton hari ini?

Mungkin itu alasannya kenapa algoritma lebih suka konten sensual:
Karena tubuh yang dipamerkan lebih mudah dikendalikan daripada sejarah yang dipertanyakan.

Kritik sejarah? Tidak langsung dilibas, tapi di persekusi lewat minus engagement dan shadowban.
Pertanyakan sistem? Bisa ditendang dari platform.
Tapi goyang badan setengah telanjang? Disarankan.
Algoritma bilang: “Ini konten populer!”

Padahal cuma bikin kita sibuk, terus lupa mikir.

Dan kalau kamu masih bisa baca ini—berarti kamu belum kena sensor.
Atau belum ketahuan.
Atau mungkin, platform-nya masih bingung:

Apakah ini tulisan sejarah, atau cuma ocehan random?

Kalau gitu, biarkan mereka tetap bingung.
Karena selama kita bisa nulis—kita masih bisa ngelawan.
Bukan buat viral, tapi biar gak ilang arah.

Akhir artikel, bukan akhir ketidakadilan

Karena algoritma akan terus menyaring, dan sejarah akan terus diperingkatkan berdasarkan siapa yang menulisnya Kita tidak sedang mengglorifikasi, mendukung dan mengamini tragedi itu, tetap kita ingin mencari tahu & belajar mengapa itu bisa terjadi. Aktor intelektual seperti Hugo Boss yang merupakan anggota partai Nazi kenapa bisa selamat, kenapa IG Farben, Prescott Bush (ayah George Walker Bush) sama sekali tidak tersentuh hukum. Dan terakhir, kenapa dunia diam saja ketika ketidakadilan terjadi di seluruh belahan dunia, tetapi reaktif terhadap Shoah.

Shoah sudah terjadi. Kita nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi kita bisa milih: mau belajar dari itu, atau pura-pura lupa. Genosida nggak berhenti di Eropa tahun 40-an. Dia berubah bentuk, berubah wajah, dan terus hidup — dari Gaza sampai Papua.

Topik dalam Artikel Ini

Bagian dari Series: Narasi Abu-Abu

Artikel ini adalah bagian dari series pembelajaran yang komprehensif.

Lihat Series Lengkap

Memuat kontributor…

Dan para kontributor lainnya yang mendukung MauCariApa.com.

Dukung Kami
Sanctum Arcanum logo

Sanctum Arcanum

Historical fiction yang menceritakan ordo rahasia dan Ksatria Templar

Diskusi & Komentar

Panduan Komentar
  • • Gunakan bahasa yang sopan dan konstruktif
  • • Hindari spam, promosi, atau link yang tidak relevan
  • • Komentar akan terus dipantau secara berkala

Tentang Penulis

Anton Toni Agung

Anton Toni Agung

Blogger amatir di MauCariApa.com, suka sejarah dan nulis kalau gabut